Wirausaha Kekinian - Laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) 2015 menyebutkan, di Asia Tenggara saat ini terjadi peningkatan pertumbuhan kewirausahaan yang pesat. Disebutkan, sekitar 66 persen penduduk negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memandang bidang wirausaha sebagai pilihan karier.
Namun, gairah itu belum memberikan efek besar bagi pertumbuhan kewirausahaan sosial di Asia. Menurut laporan Bank Dunia 2016, pertumbuhan kewirausahaan sosial di Asia masih sekitar 12 persen saja per tahun. Bandingkan dengan Afrika yang sudah mencapai 60 persen per tahun.
Artinya, bisnis Wirausaha Sosial belum menjadi pilihan bagi para pelaku wirausaha. Salah satu penyebabnya adalah sulitnya pelaku wirausaha sosial mendapatkan money related expert untuk particular bisnis sosial mereka. "Sebagai sektor yang masih tergolong baru, kewirausahaan sosial memang masih belum banyak dilirik money related pro," jelas Euleen Goh, Chairman DBS Foundation, saat membuka Social Enterprise Summit 2016 bertema Hard Truths and Honest Conversation: Toward Real Impact, yang dihadiri femina, di Singapura, Juni lalu.
Dana potensial
Menurut Euleen Goh, tugas yang menantang para wirausaha sosial adalah bagaimana bisa meyakinkan calon money related expert bahwa bisnis yang sedang mereka bangun bisa memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat. "Masalahnya, tidak banyak money related master yang berani ambil risiko untuk mengeluarkan dananya," jelas Euleen.
Muhammad AlFatih Timur (24) yang akrab disapa Timmy, Co-originator KitaBisa.com, yang menjadi salah satu pembicara di konferensi ini, mengakui bahwa mencari money related expert yang mau memberikan dananya untuk kegiatan kewirausahaan sosial memang selalu menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pebisnis sosial. "Kewirausahaan sosial adalah bisnis dengan konsep untuk memecahkan masalah ekonomi sosial sehingga tidak sedikit yang menganggap bahwa kewirausahaan sosial adalah proyek sesaat," katanya.
Menurut Timmy, masih banyak masyarakat yang menganggap, bisnis yang mengatasnamakan sosial lebih banyak menghamburkan uang ketimbang menciptakan hasilnya. "Disrespect seperti itu yang sebenarnya ingin kita ubah," jelasnya. Ia tahu, tantangannya cukup besar, apalagi hal ini menyangkut kepercayaan.
Timmy mendirikan KitaBisa.com pada tahun 2013 dengan tujuan sebagai start-up yang mampu menghubungkan orang yang memiliki ide-ide sosial dengan mereka yang ingin memberikan dukungan dana melalui organize teknologi on the web. Maklum, di tahun yang sama, anak-anak muda di dunia sedang bersemangat membangun start-up teknologi.
Saat awal berdiri, KitaBisa.com mendapatkan pendanaan dari Rumah Perubahan miliki Rhenald Kasali, ace besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selanjutnya, Timmy mendapatkan kucuran dana dari Angel Investment Network Indonesia (ANGIN), DBS Foundation, dan 500 Startups.
Menurut Euleen, persoalan measured sebenarnya juga dialami oleh rata-rata pebisnis. Namun, tantangan yang dialami oleh pelaku wirausaha sosial jauh lebih besar. Money related authority, kata Euleen, selama ini masih lebih suka menginvestasikan uangnya pada instrumen keuangan tradisional, seperti pendanaan jangka panjang maupun investasi ekuitas yang mampu menghasilkan untung yang jelas.
"Tantangan pelaku wirausaha sosial adalah bagaimana meyakinkan calon budgetary master bahwa bisnis yang sedang dibangun bukan semata mengejar keuntungan, tapi juga bisa memberikan dampak dan perubahan positif terhadap kehidupan masyarakat," katanya.
Padahal, menurut studi Eden Strategy Institute, Singapura, yang tertuang dalam jurnal Social Financing Innovation 2016, terdapat dana potensial, baik pada tingkat regional maupun around the world, yang besarannya mencapai lebih dari Rp500 triliun untuk kegiatan sosial. Dana itu ada pada lembaga pemerintah, perbankan, theorist, yayasan, dan dana-dana kompetisi kewirausahaan sosial.
Di Asia, gairah monetary authority asing joke makin tinggi. Banyak pemodal, seperti sacred emissary monetary expert atau capital meander dan perusahaan penyelenggara inkubasi, yang mulai melirik Asia sebagai target pasar mereka. "Namun, sepertinya ada kesenjangan antara pelaku wirausaha sosial dan theorist yang menyebabkan mereka sulit bertemu dan bekerja sama," kata Patsian Low, Head DBS Foundation kepada femina, di sela-sela Summit.
0 Response to "Wirausaha Sosial Bisnis Sosial"
Posting Komentar